Kesenian Rakyat Kuda Kepang (Ebeg) di Tanjung Uban Timur
Bintan merupakan sebuah kabupaten yang dulunya bernama Kepulauan Riau. Kabupaten Bintan telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, tidak hanya di nusantara namun juga mancanegara. Bintan dikaitkan dengan perjalanan sejarah Malaysia. Sejak zaman dahulu budaya dan adat istiadat yang berkembang di pulau ini adalah budaya Melayu, namun masyarakat Bintan sudah terbiasa dengan pola hidup yang harmonis dan beragam. Salah satunya di Kelurahan Tanjung Uban Timur terdapat komunitas kesenian yang hidup dan berkembang yaitu kesenian Kuda Kepang atau Ebeg.
Kuda kepang atau ebeg merupakan simbol keberanian prajurit Mataram yang menunggang kuda melawan penjajahan Belanda. Tarian ini menggunakan ebeg, sejenis anyaman bambu yang berbentuk kuda berwarna hitam atau putih dan dilengkapi dengan kerincingan. Ebeg merupakan salah satu jenis tari yang menceritakan tentang latihan perang pada masa itu. Biasanya pemain ebeg berjumlah 10 atau 12 orang yang datang dengan membawa gamelan dan satu setnya. Tarian ini tidak memerlukan koreografi khusus tetapi penarinya memerlukannya.
Harus bergerak rapi, serasi dan berirama. Ketangkasan para penari merupakan simbol dari semangat dan kekuatan. Tarian gagah berani ini dipentaskan untuk membangkitkan optimisme masyarakat agar tetap semangat dalam perjuangan melawan penjajahan. Stigma yang melekat pada tari ebeg dapat diketahui karena tiga hal. Pertama, sejak lahir pada masa Mataram dan warisannya hingga saat ini, tari Ebeg belum mengalami perubahan yang berarti. Kedua, nuansa magis yang diciptakan oleh kehadiran makhluk halus selama upacara wuru menunjukkan sifat animisme yang melekat pada masyarakat Jawa kuno. Ketiga, semangat perjuangan anti kolonial tidak lagi sejalan dengan semangat semangat.
Seni mengepang kuda sangat familiar di kalangan suku Banyumas karena merupakan seni tradisional kebanggaan masyarakat Jawa Tengah khususnya suku Banyumas. Di Kabupaten Bintan walaupun merupakan daerah melayu namun kesenian ebeg ini sangat digemari oleh masyarakat Bintan, terbukti dengan seni anyaman kuda yang dibawakan dengan baik di atas panggung, penonton sangat antusias untuk hadir. Berkat seni menganyam kuda ini, ada sebuah atraksi yang sangat digemari atau ditunggu-tunggu, yaitu cincin Janturan, yang mana para pemain bahkan penontonnya sedang kesurupan.
Di Kabupaten Bintan khususnya di Kelurahan Tanjung Uban Timur terdapat bengkel kuda kepang bernama “Purba Budaya” yang masih sangat aktif dalam permainan kuda kepang. Kuda kepang purba budaya ini sering tampil pada hari-hari raya besar seperti pernikahan, upacara khitanan, acara 17 Agustus dan hari-hari peringatan lainnya. Proses kegiatan ebeg banyak meliputi persiapan baik dari segi perlengkapan maupun persiapan fisik dan mental para pemain.
Biasanya Komunitas ini berlatih malam hari di setiap Sabtu malam. Latihan ini biasanya berlangsung setelah salat Isya dan menjelang subuh.
Bahan yang perlu disiapkan seperti musik pengiring yang digunakan ditengahnya gendang, saron, gong, dan terompet. Selain seks, persembahan seperti tujuh macam bunga, kelapa muda, cambuk, wewangian, dupa, kopi, permen dan makanan ringan lainnya juga harus dipersembahkan. Persembahan tersebut akan digunakan pada putaran yang dijadwalkan, khususnya putaran terakhir janturan. Dimana pemain akan mengalami kesurupan dan menyerang persembahan. Terdapat beberapa adegan dari kegiatan Turonggo Satria Muda yang menganyam kuda.
1. Pertunjukan tari
Pertunjukan tari dilakukan oleh para pemain, dimana para pemain menari untuk memberi penghormatan kepada penonton dan guru yang mengabulkan keinginannya.
2.Barongan
Barongan merupakan kegiatan tari yang dilakukan oleh pemain dengan menggunakan topeng berbentuk ular atau barongan. Pemain Barongan terdiri dari dua orang. Di akhir pertunjukan, penari barongan mengalami kesurupan karena roh dipanggil oleh operator atau dalang di atas kuda kepang.
3. Bandan atau Tole-Tole
Bandan atau tole-tole adalah suatu trik dimana salah satu pemain yang kesurupan dikurung di dalam sangkar dengan mantra yang dibacakan oleh operator ebeg, dan beberapa saat setelah sangkar dibuka, otomatis tubuh pemain tersebut akan diikat dengan tali. beberapa menit kemudian. , pemain ditutup sangkarnya lalu dibuka kembali. Pemain itu pergi dengan mengenakan pakaian wanita. Konon perempuan itu adalah bidadari dari kayangan yang disebut putri “ande ande lumut”.
4. Janturan
Seperti yang saya singgung di tengah artikel tentang giliran Janturan, giliran ini menjadi klimaks pertandingan yang sangat dinantikan penonton. karena pada babak ini pemain dan juga penonton akan berada dalam keadaan wuru atau kesurupan, pemain akan dihantui oleh makhluk halus yang dipanggil oleh pemain namun tidak semua penonton akan dihantui.
Hanya penonton yang sudah mempunyai indang (pengetahuan tentang anyaman kuda). Tingkah lakunya bisa berubah, ada yang menyerupai harimau, monyet, dan ular. Pemain yang tidak sadar akan memakan persembahan yang sudah disiapkan, yang menurut akal sehat, tidak cocok untuk pemain yang sadar. Misalnya makan cangkir, dupa, bunga, pemadam kebakaran, ayam mentah, dll.
Secara umum, kita harus melindungi seni sebagai bagian dari budaya. Begitu pula dengan keberadaan seni mengepang kuda di kalangan warga Bintan. Meski kesenian ini berasal dari Pulau Jawa, namun menjadi tontonan yang bisa menjadi pedoman bagi generasi mendatang.